Pelita Jogja – Kelompok perlawanan Palestina, Hamas, merespons positif pernyataan yang disampaikan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengenai penolakan terhadap rencana pemindahan massal warga Palestina dari Jalur Gaza. Kawasan tersebut telah mengalami kehancuran akibat perang yang berkepanjangan, sehingga banyak pihak mengkhawatirkan adanya upaya pengusiran paksa terhadap penduduknya.
Pernyataan Trump itu disampaikan pada Rabu (12/3) saat dirinya menjawab pertanyaan dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Irlandia, Micheal Martin. Dalam kesempatan tersebut, ia menegaskan bahwa pengusiran terhadap warga Palestina dari Gaza tidak akan dilakukan.
Menanggapi hal itu, juru bicara Hamas, Hazem Qassem, pada Kamis, menyatakan bahwa jika pernyataan Trump benar-benar merupakan bentuk penolakan terhadap semua gagasan yang berupaya memindahkan warga dari Jalur Gaza, maka sikap tersebut patut diapresiasi. Hamas juga menyerukan agar sikap ini diperkuat dengan memastikan bahwa Israel mematuhi semua ketentuan dalam perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya.
Selain itu, Hamas meminta Trump untuk tidak mendukung pandangan dari kelompok ekstrem sayap kanan Zionis yang ingin mengusir warga Palestina dari tanah mereka. Pernyataan ini disampaikan karena kekhawatiran bahwa Amerika Serikat dapat berpihak kepada kebijakan Israel yang semakin menekan rakyat Palestina.
Sikap yang diungkapkan oleh Trump muncul setelah Menteri Keuangan Israel, Bezalel Smotrich, yang dikenal sebagai politikus sayap kanan, mengumumkan rencana pembentukan kantor baru yang disebut “Otoritas Emigrasi.” Kantor tersebut berada di bawah otoritas pertahanan Israel dan bertujuan untuk mengatur pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza. Informasi ini telah dilaporkan oleh berbagai media internasional.
Di sisi lain, negara-negara Arab dalam pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan KTT Arab pada awal Maret telah menyepakati rencana besar untuk membangun kembali Gaza. Rencana tersebut dibuat tanpa melibatkan pemindahan warga Palestina dari tanah mereka. Program rekonstruksi ini diperkirakan akan memakan waktu lima tahun dengan total biaya mencapai sekitar 53 miliar dolar AS atau setara dengan Rp869,4 triliun.
Gagasan pemindahan penduduk Gaza ini bukan hal baru. Sebelumnya, Donald Trump pernah mengusulkan rencana untuk “mengambil alih” Gaza serta memindahkan warganya ke lokasi lain. Ia bahkan berencana mengubah wilayah tersebut menjadi kawasan wisata. Namun, ide ini mendapatkan penolakan luas dari negara-negara Arab dan komunitas internasional karena dianggap sebagai bentuk pembersihan etnis.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 48.500 orang dilaporkan tewas akibat serangan brutal Israel di Gaza. Serangan tersebut akhirnya dihentikan setelah adanya kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang mulai diberlakukan pada Januari 2024.
Sementara itu, tekanan internasional terhadap Israel semakin meningkat. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada November 2024 mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, serta mantan Menteri Pertahanan, Yoav Gallant. Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Selain itu, Israel saat ini juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait operasi militer mereka di wilayah Palestina. Gugatan tersebut diajukan sebagai upaya hukum untuk mengadili kebijakan Israel yang telah menyebabkan ribuan korban jiwa serta kehancuran besar di Gaza.
Dengan adanya perkembangan ini, posisi Amerika Serikat dalam konflik Palestina-Israel semakin menjadi sorotan. Pernyataan Trump yang menolak pemindahan paksa warga Palestina dari Gaza memberikan sedikit harapan bagi mereka yang menginginkan solusi damai bagi konflik yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini. Namun, banyak pihak tetap waspada dan menunggu tindakan konkret dari komunitas internasional dalam menangani krisis kemanusiaan di Gaza.